Latar
Belakang
Setiap
hari pastinya kita menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa sehari-hari
kita. Baik untuk berbicara, menulis, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Tapi
sekarang ini telah banyak perubahan yang ada. Baik dari segi pengaruh luar
yaitu perkembangan global dan juga dari masyarakat Indonesia sendiri. Sekarang
ini pun dari bidang pendidikan, anak-anak playgroup sudah diajarkan menggunakan
bahasa luar negeri seperti Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan Bahasa Jepang
dan masih banyak yang lainnya. Belum lagi setelah tingkat SD, SMP, SMA dan
seterusnya, makin banyak bahasa-bahasa asing yang dipelajari.
Ini
dianggap sebagai kebutuhan modal, juga sebagai tolak ukur kemajuan individu-individu
di masa depan. Tapi ini mempunyai pengaruh secara langsung dan tak langsung,
yaitu bahasa asing menjadi bahasa sehari-hari agar terbiasa dan juga sebagai
alat latih untuk memperlancar pengucapan, pendengaran dan penulisan. Cukup
memprihatinkan, karena fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dari Warga
Negara Indonesia menjadi tergeser. Karena bahasa asing, menjadi bahasa
pergaulan, menjadi jembatan dalam persaingan global dan juga salah satu syarat
dalam dunia pekerjaan.
Tak
dipungkiri pentingnya mempelajari bahasa asing, tapi alangkah jauh lebih baik
bila kita tetap menjaga, melestarikan dan membudayakan Bahasa Indonesia. Maka
dari itu untuk memperdalam mengenai Bahasa Indonesia, kita perlu mengetahui
bagaimana perkembangannya sampai saat ini sehingga kita tahu mengenai bahasa
pemersatu dari berbagai suku dan adat-istiadat yang beranekaragam yang ada di
Indonesia, yang termasuk kita didalamnya.
Asal Mula
Bahasa Indonesia dari segi bahasa yang digunakan
Bahasa
Indonesia adalah Bahasa Melayu, sebuah Bahasa Austronesia yang digunakan
sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal
penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat
lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan
sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang
digunakan para penggunanya.
Bentuk
yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan
keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini
lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak
seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia
Kemudian
digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum
banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa
daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360). Awal penciptaan Bahasa
Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia
pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang
sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa
Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.
Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau
puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang
merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari
dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan
kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat,
ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat
menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa
Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta
(Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari
Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh
Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling
sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke,
ataupun dari bahasa lainnya.
4.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di
Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik
Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah
Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
Dengan
memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada
masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan
kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian
distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga
diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Perkembangan
Bahasa Indonesia berdasarkan peristiwa-peristiwa penting
Perinciannya sebagai berikut:
1.
Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi Bahasa
Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2.
Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan
penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur
(Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai
Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang
tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3.
Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang
paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal
itulah para pemuda pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan
bahasa Indonesia.
4.
Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan
sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.
5.
Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan
bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara
sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
6.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah
Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara.
7.
Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan
Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang
berlaku sebelumnya.
8.
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28
Oktober s.d. 2 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia
untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Perkembangan
Bahasa Indonesia berdasarkan prasasti-prasasti
Penelusuran
perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi
(batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa
Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang
menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu.
Nama-nama prasasti adalah:
(1)
Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2)
Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota
Kapur (686 Masehi),
(4)
Karang Brahi (686 Masehi),
(5)
Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor
(942 Masehi), dan
(7)
Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti
itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa
Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
-
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan,
yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua,
yang memuat nama Sriwijaya.
-
Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang
konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang
Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti
ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.
-
Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi,
keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu
permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar
menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja.
Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia
kepada raja Sriwijaya.
Jika
berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan
bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua
franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya.
Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa
bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun)
memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu
(Sriwijaya).
Perkembangan
Bahasa Indonesia berdasarkan catatan-catatan penting
Selain
berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan
sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina
turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa
penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke
Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka
namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu
oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa
Melayu.
Untuk
keperluan perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, Traktat London
(Perjanjian London) 1824 antara Pemerintah Inggris dan Belanda merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi
kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
(1)
Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan
kolonial Inggris; dan
(2)
Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa,
sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau
Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor , dan lain-lain; Kepulauan
Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda.
Pustaka
Acuan
- Abas, Husen. 1987. Indonesian As a Unifying Language of Wider Communication: a Historical and Sociolinguistic Perspectives.Canberra: Research School of Pasific Studies, ANU.
- Alisjahbana, Sutan Takdir. 1974. “Language Policy, Language Engineering and Literacy in Indonesia and Malaysia”. Dalam Fiherman, ed. 1974: 179-187.
- Fishamn, Joshuo A., ed. 1974. Advances in Language Planning. The Hague : Mouton.
- Hamidy, U.U. 1973. Bahasa Melayu Riau: Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa dan Bangsa Indonesia . Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Propinsi Riau.
- Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia dan Bangsa Indonesia . Djakarta : Bhratara.
- Joyonegoro, Wardiman. 1995. “Pidato Pembukaan KIP BOPA III”. 28 Agustus 1995.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar